- Seputar Sultra

Teraktual dan Terpercaya

Hot Isu

Post Top Ad

Friday, 16 October 2015

KPK Harus Dilemahkan
Oleh: Alungsyah*


Awal mulanya menguat isu terhadap KPK ditandai dengan sejarah panjang dan perjuangan KPK dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Sepak terjang yang dilakukan KPK seolah tidak ada yang mampu menandingi dan menghentikan laju geraknya, baik itu perorangan maupun secara kelompok. Dari itu, KPK telah banyak menelan “warga negara” melalui segala kewenangan yang dimilikinya, mulai dari pejabat swasta dan negeri tak luput dari cengkramannya. Aksi KPK makin hari kian menakutkan bagi para pejabat, baik itu eksekutif, legislative dan yudikatif, sehingga pada saatnya terdengar suara yang meneriakkan lemahkan KPK dan bubarkan KPK. Teriakkan tersebut bukanlah tanpa alasan dan bahkan mendapat angin segar dari DPR RI melalui kewenangan yang diberikan oleh UUD NRI 1945. DPR dengan segala kekuatannya “membunuh” KPK dengan cara yang lebih sadis yaitu melalui revisi Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK. walaupun tindakan yang dilakukan oleh DPR menimbulkan pro dan kontra ditengah publik.
Harus Dilemahkan
Keberadaan KPK di Republik ini dapat dikatakan sebagai “pengganti” terhadap lembaga Polri dan kejaksaan yang mana kedua lembaga ini diyakini pada saat itu tidak mampu mengatasi kasus korupsi yang membelit perekonomian Indonesia. Dengan kata lain kelahirkan KPK merupakan peristiwa yang tidak disengaja yang itu berimplikasi pada lembaga penegakan hukum yang ada. Salah satunya ialah bahwa KPK didesign berbeda dengan lembaga lainnya. Letak pebedaan tersebut terdapat pada kewenangan yang dimiliki oleh KPK itu sendiri, misalnya KPK tidak memiliki kewenangan untuk mengeluarkan SP3, lalu kemudian penyadapan yang tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada ketua Pengadilan dan yang selanjutnya ialah beberapa pasal yang dianggap berbahaya lainnya. Dengan kewenangan yang dimiliki oleh KPK itu membuat sebagian orang risih dan tergangu untuk bertindak dan terlebih berpotensi melangar Hak Asasi Manusia, sehingga sekali lagi dengan segala kewenangan yang dimiliki DPR suka tidak suka langkah untuk merevisi merupakan bagian dari solusi pokok.
Penting untuk diketahui bahwa dalam perspektif hukum tata Negara, sejatinya tidak satu lembaga pun yang memiliki kewenangan yang lebih superior dari pada lembaga Negara yang lainnya. Kewenangan yang dimiliki haruslah proporsional guna terciptanya checks and balances dalam berdemokrasi. Dengan kata lain bilamana terdapat lembaga yang memiliki kewenangan lebih, maka sudah sepantasnya untuk dilemahkan. Dalam pandangan pakar Hukum Tata Negara yang sekaligus founder Constitutional Law Office, Sidin Constitution, Irmanputra Sidin dalam keterangannya mengatakan bahwa dalam negara konstitusi, lembaga yang terlalu kuat memang harus dilemahkan. Begitu pun lembaga yang lemah, perlu diperkuat. Semua harus dititik keseimbangan agar semua bisa dikontrol (okezone.com, 12/10). Ungkapan ini bukanlah isapan jempol belaka, karena dalam demokrasi yang sesungguhnya tidak ada kewenangan yang lebih mendominasi, sehingga nantinya bertindak melebih rasional hukum yang wajar.

Instrumen Revisi
Setelah satu persatu nahkodanya tumbang, kini tiba saatnya aturan yang menjadi sasaran, dengan cara ini KPK akan mudah untuk dilemahkan dan setidaknya ini sebagai satu-satunya cara yang konstitusional untuk dilakukan. Wacana revisi Undang-undang KPK tidak hanya terjadi baru-baru ini, namun telah terjadi pada masa sebelumnya. Republik yang dikendalikan oleh presiden Jokowi melalui pembantunya menjadikan wacana ini semakin menguat dipublik dan bahkan dengan senang hati DPR sebagai “tuan rumah” menyambutnya dengan suka cita. Sambutan yang diberikan oleh DPR yaitu dengan cara revisi diyakini mampu meredam KPK dengan segala kewenangannya. Adapun pengusul revisi Undang-Undang KPK ini terdiri dari 45 orang dari 6 fraksi diantaranya ialah 15 orang dari PDIP, 11 orang dari NasDem, 9 orang dari Golkar, 5 orang dari PPP, 3 orang dari Hanura, dan 2 orang dari PKB. Sedangkan untuk fraksi-fraksi diluar itu masih belum menyetujui usulan revisi Undang-undang yang dibentuk pada era Presiden Megawati Soekarno Putri itu. (Pikiran Rakyat, 16/10).
Selain itu juga ada beberapa ketentuan pasal yang akan dilakukan perubahan dalam Undang-undang KPK di antaranya: pertama, Pasal 5 Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk untuk masa waktu 12 tahun sejak undang-undang ini diundangkan. Kedua, pasal 13 huruf b menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp 50 miliar, sedangkan untuk huruf c-nya dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi telah melakukan penyidikan dimana ditemukan kerugian negara dengan nilai dibawah Rp 50 miliar, maka wajib menyerahkan tersangka dan seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan kepada kepolisian dan kejaksaan dalam waktu paling lama 14 hari kerja, terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi. Ketiga, pada pasal 14 huruf a KPK melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan setelah ditemukan bukti permulaan yang cukup dengan izin dari Ketua Pengadilan Negeri‎. Keempat, pasal 22 ayat (1) huuf b yang berbunyi Dewan Eksekutif yang terdiri dari 4 anggota. Sedangkan yang Kelima, pasal 23 ayat (1) berbunyi KPK dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dibantu oleh dewan eksekutif sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 ayat (1) huruf b yang diajukan oleh panitia seleksi pemilihan, pada ayat 2-nya Panitia Seleksi Pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk oleh KPK, sedangkan untuk ayat (3)-nya berbunyi Panitia Seleksi Pemilihan mengumumkan penerimaan calon dan melakukan kegiatan mengumpulkan calon anggota berdasarkan pengalamannya sebagai PNS di bidang hukum atau pemeriksa keuangan, sedangkan untuk ayat (6) Dewan Eksekutif diangkat dan  diberhentikan oleh Presiden.
Ketujuh, perubahan lebih lanjut terjadi ada pasal 24 yang bebunyi Dewan eksekutif berfungsi menjalankan pelaksanaan tugas sehari-hari lembaga KPK dan melaporkannya kepada komisioner KPK. Kedelapan, pasal 27 ayat (2) KPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membawahkan 4 dewan eksekutif terdiri atas: bidang pencegahan, bidang penindakan, bidang informasi dan data, bidang pengawasan internal dan pengaduan masyarakat. Kesembian, dalam pasal 39 ayat (1) dalam melaksanakan tugas dan penggunaan kewenangan KPK, maka dibentuk dewan kehormatan, sedangkan pada ayat (2) Dewan kehormatan diberi wewenang untuk memeriksa dan memutuskan dugaan terjadinya pelanggaran penggunaan wewenang yang tidak memenuhi standar penggunaan wewenang yang telah ditetapkan dan menjatuhkan sanksi administrasi dalam bentuk teguran lisan dan tertulis, pemberhentian sementara dan pemberhentian dari pegawai KPK dan pelaporan tindak pidana yang dilakukan oleh komisioner KPK dan pegawai KPK dan pada ayat (3)-nya bahwa dewan kehormatan bersifat ad hoc terdiri dari 9 anggota yaitu 3 unsur dari pemerintah, 3 unsur aparat penegak hukum, dan 3 dari unsur masyarakat. Kesepuluh, pada pasal 42 KPK berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) dalam perkara tindak pidana korupsi setelah diketahui tindak pidana korupsi yang sedang ditanganinya tersebut tidak memenuhi syarat untuk dilanjutkan ke tahap penuntutan sebagaimana diatur pada 109 ayat (2) KUHP. Sedangkan yang kesebelas ialah pasal 52 ayat (2) juga tak luput yang mana. Dalam hal suatu tindak pidana korupsi terjadi dan kepolisian atau kejaksaan belum melakukan penyidikan, sedangkan perkara tersebut telah dilakukan penyidikan oleh KPK maka KPK tersebut wajib memberitahukan kepada kepolisian atau kejaksaan paling lambat 14 hari kerja terhitung sejak tanggal dimulainya penyidikan dan yang terakhir pasal 53 ayat (1) yaitu Penuntut adalah jaksa yang berada dibawah lembaga Kejaksaan Agung RI yang diberi wewenang oleh KUHAP untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.

Penulis merupakan praktisi pada kantor hukum Sidin Constitution

No comments:

Post a Comment

Post Top Ad