Sunday, 11 October 2015

Lagi, KPK Warning IUP Bermasalah
--Tindaklanjut Korpus Pengelolaan Tambang


Kendari, UB
    Sikap membangkang dan tidak kooperatif masih terus ditunjukan para pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang terindikasi "bermasalah". Faktanya, warning Komisi Anti Korupsi (KPK) atas hasil koordinasi dan supervisi (korsup) terkesan angin lalu. Hingga kini, saran dan masukan KPK belum ditindaklanjuti. Padahal tidak hanya sanksi pencabutan IUP, perusahaan bisa dijerat sanksi pidana.     
Ketidakkonsistenan perusahaan tambang menanggapi MUO yang ditandatangani Pemda se-Sultra tanggal 19 Juni 2014 lalu membuat KPK mulai gerah. Komisi anti rasuah meminta Pemda untuk bersikap tegas. Apalagi upaya yang dilakukan pemerintah cukup optimal. Makanya, KPK meminta pemda mengklasifikasikan ulang IUP yang bermasalah untuk diserahkan ke pusat. Hasil evaluasi inilah yang akan menjadi acuan pemerintah dalam mencabut IUP maupun memproses perusahaan tambang yang dianggap tidak kooperatif.
    "Kami telah menerima surat dari KPK terkait tindaklanjut hasil korsup tahun lalu. Intinya, meminta pemda untuk memverifikasi ulang IUP yang dianggap bermasalah. Kalau tidak salah, ada 8 poin yang ditegaskan KPK. Seperti upaya rehabilitasi lingkungan, kewajiban keuangan, pengunaan BBM dan lainnya," ungkap Ir Burhanuddin, Kepala Dinas ESDM Sultra ini akhir pekan lalu.
    Menindaklanjuti surat KPK kata Pj Bupati Konawe Kepulauan (Konkep), pihaknya telah berkoordinasi dengan kabupaten/kota. Hal ini terkait hasil pengawasan daerah terhadap MOU kemarin. Paling tidak, pemerintah bisa mensingkronkan data hasil evaluasi IUP di daerah maupun di provinsi. Apalagi ada perbedaan data IUP yang diserahkan kabupaten/kota ke KPK dengan di Pemprov Sultra.
    "Memang ada perbedaan jumlah IUP. Namun tidak akan menjadi masalah serius. Sebab data yang dilaporkan ke KPK adalah data lama. Sementara data yang dipegang dinas ESDM adalah data terbaru. Hanya saja, kami harus mengkroscek dulu. Sebab dengan diberlakukannya UU nomor 23 tahun 2014, kewenangan penebitan IUP tidak lagi menjadi domain daeran namun provinsi," jelas mantan Kabid Pertambangan Sultra ini.
    Berdasarkan informasi sementara lanjut Alumnus Fakultas Teknik Universitas Veteran Makasar ini, IUP yang diterbitkan untuk pengolahan batu. Pengunaan kawasannya relatif kecil, maksimal hanya sekitar 5 hektar. Kemungkinan IUP tinggal disingkronkan saja penerbitannya. Namun bila menyangkut pengelohan tambang seperti emas, nikel atau hasil tambang lainnya maka bisa dievaluasi atau dicabut. Daerah yang jumlah IUP mengelami perubahan yakni, Bombana, Konawe Selatan (konsel) dan beberapa daerah lainnya.
    "Jadi data yang diminta KPK tinggal kita ceklis satu persatu. Meskipun begitu, kami berharap ada upaya dari pihak pemegang IUP lebih proaktif. Agar poin yang menjadi permintaan KPK bisa segera dilengkapi atau ditindaklanjuti. Bila masalah tanggung jawab lingkungan, maka segera dilakukan rehabilitasi kawasan. begitupun dengan tunggakan royalti, PBB dan kewajiban lainnya," tandas alumnus Doktor Manajemen SDM Universitas Negeri Jakarta (UNJ).
    Meskipun KPK tidak memberikan tenggak waktu penyerahan laporan, namun Pemprov diminta untuk segera merampungkan data yang diminta KPK. Hanya saja, prosesnya sedikit tertunda sebab disaat yang sama proses pelimpahan Personil, Prasarana, Pembiayaan, dan Dokumen (P3D) terkait pengelolaan pertambangan. Sebagaimana amanat Undang-Undang (UU) nomor 23 tahun 2014, yang menyerahkan kewenangan pengelolaan tambang dan energi daerah ke Pemprov.
    "Pemerintah cukup konsen mengenai persoalan ini. Apalagi disaat yang sama pemerintah tengah mengevaluasi 253 IUP yang masih bermasalah. Paling tidak, hal ini menjadi dasar pemerintah untuk mencabut perusahaan yang tidak kooperatif yang menyelesaikan kewajibannya," tegas Burhanuddin. (amal)

No comments:

Post a Comment