Peneribitan Sertifikat Atas Lahan Milik Pemprov
Kendari, UB
Klaim pemerintah yang memenangkan gugatan atas lahan seluas 4 hektar yang berlokasi di samping Hotel Clarion ternyata isapan jempol semata. Sebab putusan Pengadilan Negeri (PN) Kendari nomor 52/Pdt-g/2008 malah mengakui lahan sengketa tersebut milik penggugat (Usman). Berbekal surat eksekusi lahan bernomor 23.UI-1168/HT.10.10/X/2010, penyerahan objek sengketa pada Usman dilaksanakan pada tanggal 26 April 2010. Hanya saja, penyerahan objek lahan sengketa pada penggugat hanya seluas 15 ribu meter bujur sangkar sedangkan sisa lahannya menjadi milik negara.
Atas dasar putusan PN yang telah ingkra, Badan Pertanahan Nasional (BPN) kemudian menerbitkan sertifikat baru pada tahun 2013. Pasalnya dengan adanya putusan tersebut, sertifikat hak pakai bernomor 91 tahun 1989 dinyatakan telah gugur lantaran tidak lagi mempunyai kekuatan hukum. Alhasil, niat pemerintah untuk menguasai kembali yang menjadi objek sengketa akhirnya pupus.
"Diterbitkannya sertifikat diatas lahan yang diklaim pemprov telah sesuai mekanisme. Setelah putusan PN mengakui kejelasan status tanah yang sebelumnya menjadi lahan sengketa. Pasalnya, hingga batas waktu yang ditentukan tidak ada upaya banding yang dilakukan pemprov sehingga putusan PN Kendari menjadi ingkra. Karena tidak ada upaya hukum selanjutnya, maka diterbitkanlah surat eksekusi lahan pada tahun 2010 lalu. Berbekal surat eksekusi lahan, maka dengan disaksikan pihak yang berengsengketa dan diketahui perwakilan pemerintah (Lurah Lahundape) pada tanggal 26 April 2010 dilakukanlah eksekusi lahan," beber Kepala Bidang (Kabid) Pengkajian Penanganan Sengketa Konflik dan Perkara Kantor Wilayah (Kanwil) BPN Sultra, Arifin SH akhir pekan lalu.
Dengan proses eksekusi tambah mantan Kepala BPN Muna ini, secara otomatis sertifikat hak pakai nomor 91 tahun 1989 dinyatakan gugur. Sehingga ketika lahan tersebut disertifikatkan Usman, maka sudah sewajarnya. Hal sama juga ketika pada tahun 2013 BPN Kendari menerbitkan sertifikat lahan tersebut sebab sudah sesuai ketentuan. Meskipun sertifikat tersebut diakuinya merupakan produk BPN, namun bila ada putusan hukum yang mengugurkannya maka produk tersebut tidak berlaku lagi.
"Penerbitan sertifikat ini sesuai dengan Peraturan Kepala BPN nomor 3 tahun 2013. Dimana pada pasal 54 ayat 1 ditegaskan, BPN wajib melaksanakan putusan hukum yang telah ingkra. Jadi BPN Kendari hanya melaksanakan putusan hukum yang telah ingkra sehingga tidak boleh disalahkan. Apalagi status hukumnya sudah diuji di pengadilan. Jadi tidak perlu diperdebatkan lagi," tandas mantan Kepala Seksi (Kasi) Hak Tanah Kabupaten Bone Bolango provinsi Gorontalo ini.
Dimenangkannya lahan tersebut kata pria asal Tanah Toraja (Tator) ini, alas dasar kepemilikan lahan milik pemprov dinyatakan lemah. Bila dinyatakan lahan tersebut dahulunya milik Kanwil Perikanan, pemprov tidak bisa menjelaskan darimana Kanwil mendapatkan lahan tersebut. Sementara dari pihak Usman, berhasil meyakinkan saksi dan bukti yang menunjukan lahan tersebut miliknya. Sebab sebelum ada Undang-Undang (UU), sistem pemerintahan yang beraku adalah hukum adat (tidak tertulis). Nanti ketika lahannya akan dijual atau mengurus sertifikat barulah kepemilikan lahannya dicatat.
"Pada persoalan ini, pihak Usman dapat menjelaskan sejarah keberadaan lahan itu. Sedangkan kelemahannya pemprov tidak bisa menghadirkan saksi dan bukti asal muasal lahan milik Kanwil Perikanan. Walaupun mereka memiliki sertfikat hak pakai, namun alas lahan kepemilikan tidak bisa dibuktikan. Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 24 tahun 1997 pengganti PP nomor 10 tahun 1961. Dimana disebutkan, bila tidak bukti tertulis cukup pernyataan penguasaan fisik riwayat atau asal muasal lahanya tersebut," papar mantan Kasi Hak Tanah BPN Kendari ini.
Seharusnya, bila tidak sepakat pemerintah bisa mengajukan banding. Bukannya menyalahkan BPN ketika diterbitkannya sertifikat atas objek lahan yang disengketakan. Ia pun mempertanyakan tidak ada upaya banding bahkan ia mensinyalir terkesan ada upaya pembiaran. Jangan jadikan BPN dan penggugat sebagai bulan-bulanan, sebab bagaimanapun lepasnya lahan pemerintah tersebut akibat kelalaian mereka sendiri. Sebab seharusnya, ada upaya hukum kejenjang yang lebih tinggi. Kalau perlu hingga Peninjuan Kembali (PK), untuk menguji status hukum lahan tersebut.
Agar persoalan ini tidak terulang lagi, sudah saatnya pemerintah membentuk tim terkait aset pemprov. Bukan hanya dari biro hukum saja, namun juga melibatkan pihak lainnya. Misalkan, pihak yang memiliki kompetensi persoalan tanah termasuk pihak BPN. Bila pemprov ingin menguasai lahan tersisa, segera masukan gugatan. Siapakan bukti dan tim yang bisa meyakinkan pengadilan, apalagi lahan tersisa masih cukup luas ,"pungkas alumnus Universitas Hasanuddin (Unhas) Makasar ini. (amal)
Kendari, UB
Klaim pemerintah yang memenangkan gugatan atas lahan seluas 4 hektar yang berlokasi di samping Hotel Clarion ternyata isapan jempol semata. Sebab putusan Pengadilan Negeri (PN) Kendari nomor 52/Pdt-g/2008 malah mengakui lahan sengketa tersebut milik penggugat (Usman). Berbekal surat eksekusi lahan bernomor 23.UI-1168/HT.10.10/X/2010, penyerahan objek sengketa pada Usman dilaksanakan pada tanggal 26 April 2010. Hanya saja, penyerahan objek lahan sengketa pada penggugat hanya seluas 15 ribu meter bujur sangkar sedangkan sisa lahannya menjadi milik negara.
Atas dasar putusan PN yang telah ingkra, Badan Pertanahan Nasional (BPN) kemudian menerbitkan sertifikat baru pada tahun 2013. Pasalnya dengan adanya putusan tersebut, sertifikat hak pakai bernomor 91 tahun 1989 dinyatakan telah gugur lantaran tidak lagi mempunyai kekuatan hukum. Alhasil, niat pemerintah untuk menguasai kembali yang menjadi objek sengketa akhirnya pupus.
"Diterbitkannya sertifikat diatas lahan yang diklaim pemprov telah sesuai mekanisme. Setelah putusan PN mengakui kejelasan status tanah yang sebelumnya menjadi lahan sengketa. Pasalnya, hingga batas waktu yang ditentukan tidak ada upaya banding yang dilakukan pemprov sehingga putusan PN Kendari menjadi ingkra. Karena tidak ada upaya hukum selanjutnya, maka diterbitkanlah surat eksekusi lahan pada tahun 2010 lalu. Berbekal surat eksekusi lahan, maka dengan disaksikan pihak yang berengsengketa dan diketahui perwakilan pemerintah (Lurah Lahundape) pada tanggal 26 April 2010 dilakukanlah eksekusi lahan," beber Kepala Bidang (Kabid) Pengkajian Penanganan Sengketa Konflik dan Perkara Kantor Wilayah (Kanwil) BPN Sultra, Arifin SH akhir pekan lalu.
Dengan proses eksekusi tambah mantan Kepala BPN Muna ini, secara otomatis sertifikat hak pakai nomor 91 tahun 1989 dinyatakan gugur. Sehingga ketika lahan tersebut disertifikatkan Usman, maka sudah sewajarnya. Hal sama juga ketika pada tahun 2013 BPN Kendari menerbitkan sertifikat lahan tersebut sebab sudah sesuai ketentuan. Meskipun sertifikat tersebut diakuinya merupakan produk BPN, namun bila ada putusan hukum yang mengugurkannya maka produk tersebut tidak berlaku lagi.
"Penerbitan sertifikat ini sesuai dengan Peraturan Kepala BPN nomor 3 tahun 2013. Dimana pada pasal 54 ayat 1 ditegaskan, BPN wajib melaksanakan putusan hukum yang telah ingkra. Jadi BPN Kendari hanya melaksanakan putusan hukum yang telah ingkra sehingga tidak boleh disalahkan. Apalagi status hukumnya sudah diuji di pengadilan. Jadi tidak perlu diperdebatkan lagi," tandas mantan Kepala Seksi (Kasi) Hak Tanah Kabupaten Bone Bolango provinsi Gorontalo ini.
Dimenangkannya lahan tersebut kata pria asal Tanah Toraja (Tator) ini, alas dasar kepemilikan lahan milik pemprov dinyatakan lemah. Bila dinyatakan lahan tersebut dahulunya milik Kanwil Perikanan, pemprov tidak bisa menjelaskan darimana Kanwil mendapatkan lahan tersebut. Sementara dari pihak Usman, berhasil meyakinkan saksi dan bukti yang menunjukan lahan tersebut miliknya. Sebab sebelum ada Undang-Undang (UU), sistem pemerintahan yang beraku adalah hukum adat (tidak tertulis). Nanti ketika lahannya akan dijual atau mengurus sertifikat barulah kepemilikan lahannya dicatat.
"Pada persoalan ini, pihak Usman dapat menjelaskan sejarah keberadaan lahan itu. Sedangkan kelemahannya pemprov tidak bisa menghadirkan saksi dan bukti asal muasal lahan milik Kanwil Perikanan. Walaupun mereka memiliki sertfikat hak pakai, namun alas lahan kepemilikan tidak bisa dibuktikan. Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 24 tahun 1997 pengganti PP nomor 10 tahun 1961. Dimana disebutkan, bila tidak bukti tertulis cukup pernyataan penguasaan fisik riwayat atau asal muasal lahanya tersebut," papar mantan Kasi Hak Tanah BPN Kendari ini.
Seharusnya, bila tidak sepakat pemerintah bisa mengajukan banding. Bukannya menyalahkan BPN ketika diterbitkannya sertifikat atas objek lahan yang disengketakan. Ia pun mempertanyakan tidak ada upaya banding bahkan ia mensinyalir terkesan ada upaya pembiaran. Jangan jadikan BPN dan penggugat sebagai bulan-bulanan, sebab bagaimanapun lepasnya lahan pemerintah tersebut akibat kelalaian mereka sendiri. Sebab seharusnya, ada upaya hukum kejenjang yang lebih tinggi. Kalau perlu hingga Peninjuan Kembali (PK), untuk menguji status hukum lahan tersebut.
Agar persoalan ini tidak terulang lagi, sudah saatnya pemerintah membentuk tim terkait aset pemprov. Bukan hanya dari biro hukum saja, namun juga melibatkan pihak lainnya. Misalkan, pihak yang memiliki kompetensi persoalan tanah termasuk pihak BPN. Bila pemprov ingin menguasai lahan tersisa, segera masukan gugatan. Siapakan bukti dan tim yang bisa meyakinkan pengadilan, apalagi lahan tersisa masih cukup luas ,"pungkas alumnus Universitas Hasanuddin (Unhas) Makasar ini. (amal)
No comments:
Post a Comment