Terkait Lepasnya Lahan Samping Hotel Clarion
Kendari, UB
Kendari, UB
Lepasnya lahan seluas 4 hektar yang berlokasi di samping Hotel Clarion menjadi catatan buruk pemerintah saat ini. Bukan hanya karena kelalaian pemerintah dalam mengiventarisir dan mengelola aset, namun kelemahan pemerintah dalam mempertahankan aset miliknya. Meski berbekal sertifikat hak pakai lahan nomor 91 tahun 1989, pemerintah harus rela menyerahkan asetnya pada pihak penguggat (Usman). Ironisnya, tidak ada upaya banding yang dilakukan pemprov hingga akhirnya putusan Pengadilan Negeri (PN) Kendari menjadi ingkrah.
Raibnya aset pemprov tersebut membuat sejumlah anggota dewan berang. Bahkan komisi I DPRD Sultra siap menjadwalkan pemanggilan sejumlah instansi terkait yang menangani persoalan ini. Guna menjelaskan lepasnya aset pemprov, terutama tidak ada upaya maksimal dari pemerintah atas lepasnya lahan seluas 4 hektar tersebut. Sehingga pada tanggal 26 April 2010, berbekal surat eksekusi lahan bernomor 23.UI-1168/HT.10.10/X/2010, penyerahan objek sengketa pada Usman dieksekusi.
"Heran, tidak ada upaya banding dari pemprov atas putusan Pengadilan Negeri (PN) Kendari nomor 52/Pdt-g/2008. Padahal putusan tersebut tidak berpihak pada pemerintah. Dimana disebutkan, Usman sebagai penggugat berhak atas lahan seluas 1,5 hektar dan sisanya menjadi milik negara (bukan pemprov). Saya tidak ingin berspekulasi siapa yang bertanggungjawab atau terindikasi melakukan pembiaran, namun pihak yang terlibat persoalan aset ini harus bisa memberi penjelasan," tandas Wakil Ketua Komisi I DPRD Sultra, Yaudu Salam Ajo.
Menurutnya, sikap yang diperlihatkan pemerintah sangat lemah. Harusnya ada upaya pemerintah hingga proses hukum paling akhir kalau memang dibutuhkan. Namun sayangnya, setelah putusan PN Kendari tidak ada upaya itu. Upaya pemprov dalam mengembalikan sejumlah aset miliknya yang bersengketa kian jauh dari harapan. Faktanya, lahan seluas 4 hektar milik pemprov bisa lepas begitu saja. Padahal secara yuridis mereka memiliki hak pakai lahan No.91 tahun 1989.
"Namun kenyataannya, mengapa bisa BPN menerbitkan sertifikat baru diatas objek lahan itu. Pertanyaannya, apakah ada indikasi permaianan BPN atau secara hukum posisi pemprov memang lemah terhadapa lahan di samping Hotel Clarion itu?"sindir politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini.
Ketika ditanyakan kapan pemanggilannya, ia menyatakan secepatnya. Namun kemungkinan setelah pembahasan LKPJ dituntaskan. "Saya berharap lepasnya lahan pemprov ini merupakan kali terakhir. Jangan sampai terjadi kembali. Olehnya, perlu ada pengawasan ektra terhadap aset-aset pemerintah yang dianggap rawan. Kalau perlu, pemerintah bisa membentuk tim khusus menyelesaikan persoalan aset ini,"pungkasnya.
Sementara itu, Wakil Ketua DPRD Sultra, La Pili menyayangkan terbitnya sertifikat baru diatas lahan pemprov. Sebaiknya, sebelum mengeluarkan sertifikat baru perlu diteliti secara cermat. Sebab sebelumnya sudah ada pengakuan BPN atas lahan tersebut sesuai dengan hak pakai lahan No.91 tahun 1989, tapi kenapa diterbitkan lagi sertfikat di objek lahan yang sama. Tentunya hal ini akan menimbulkan polemik dan perspektif yang berbeda, mana yang sah diantara sertifikat tersebut.
Agar persoalan ini clear kata politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini, maka harus diserahkan jalur hukum. Bila keputusannya, yang berhak adalah pemprov maka harus dikemalikan. Namun seandainya kalah, maka pemerintah harus rela melepaskannya. Sebab semua pihak harus tunduk dengan putusan tersebut apalagi sudah ingkrah.
"Dalam persoalan ini pemerintah terlihat lemah. Sebab dengan mudahnya, aset milik pemerintah bisa lepas. Olehnya, perlu ada langkah proteksi yang mengantisipasi lepasnya aset lainnya. Sehingga ini menjadi pelajaran, agar kedepan tidak perlu terjadi lagi,"tandas politisi yang telah dipastikan kembali mengisi kursi DPRD Sultra.
Sebelumnya, lepasnya aset pemprov ini membuat sejumlah legislator DPRD Sultra angkat suara. Anggota komisi I, H Respin bahkan menuding pemprov tidak punya taring. Seharusnya dengan kewenangan yang dimiliki pemprov lahan tersebut tidak lepas begitu saja. Bukan hanya memiliki kewenangan, namun juga memiliki kekuatan, koneksi dan relasi untuk mengagalkan lepasnya aset pemerintah. Masak, dengan apa yang dimilkinya pemerintah dikalahkan dengan pihak yang memiliki modal.
"Ini menandakan political will pemprov sangat lemah, bahkan dengan pihak yang mempunyai kemampuan finansial saja kalah, bagaimana jika lawannya lembaga atau organisasi,"sindir legislator Partai Bulan Bintang (PBB) ini.
Menurut pengganti Nirna Lachmuddin ini, ada yang salah dengan pengawasan dan pengelolaan aset pemerintah. Sebab dengan mudahnya, ada pihak yang mencaplok tanpa ada upaya maksimal dari pemerintah. Harusnya, pemerintah bisa mendeteksi mana aset yang dianggap bermasalah dan rentan dikuasai pihak lain sehingga sudah siap mengantisipasi. Bukannya kebakaran jenggot dan mengerahkan aparatnya untuk mengamankan aset pemerintah sebab sudah terlambat.
"Mengenai persoalan ini, pemerintah harus instropeksi diri. Bila perlu evaluasi aparatnya yang lalai. Lebih baik, lakukan langkah hukum. Kumpulkan bukti kepemilikan lahannya dan masukan gugatannya ke pengadilan,"saran mantan Kepala Bulog Unaaha ini.
Bukan hanya persoalan perdata kata Respin, pemerintah juga harus mengambil langkah yang lebih tegas. Serahkan ke aparat hukum, mengusut terbitnya sertifikat doubel ini. Jangan sampai terlepas, sebab kemungkinan ada kong kali kong antara oknum tertentu. Sebab mana mungkin ada dua sertifikat yang terbit diatas objek lahan yang sama. Untuk menindaklanjuti persoalan ini, ia berjanji akan membahas persoalan ini secepatnya.(amal)
Raibnya aset pemprov tersebut membuat sejumlah anggota dewan berang. Bahkan komisi I DPRD Sultra siap menjadwalkan pemanggilan sejumlah instansi terkait yang menangani persoalan ini. Guna menjelaskan lepasnya aset pemprov, terutama tidak ada upaya maksimal dari pemerintah atas lepasnya lahan seluas 4 hektar tersebut. Sehingga pada tanggal 26 April 2010, berbekal surat eksekusi lahan bernomor 23.UI-1168/HT.10.10/X/2010, penyerahan objek sengketa pada Usman dieksekusi.
"Heran, tidak ada upaya banding dari pemprov atas putusan Pengadilan Negeri (PN) Kendari nomor 52/Pdt-g/2008. Padahal putusan tersebut tidak berpihak pada pemerintah. Dimana disebutkan, Usman sebagai penggugat berhak atas lahan seluas 1,5 hektar dan sisanya menjadi milik negara (bukan pemprov). Saya tidak ingin berspekulasi siapa yang bertanggungjawab atau terindikasi melakukan pembiaran, namun pihak yang terlibat persoalan aset ini harus bisa memberi penjelasan," tandas Wakil Ketua Komisi I DPRD Sultra, Yaudu Salam Ajo.
Menurutnya, sikap yang diperlihatkan pemerintah sangat lemah. Harusnya ada upaya pemerintah hingga proses hukum paling akhir kalau memang dibutuhkan. Namun sayangnya, setelah putusan PN Kendari tidak ada upaya itu. Upaya pemprov dalam mengembalikan sejumlah aset miliknya yang bersengketa kian jauh dari harapan. Faktanya, lahan seluas 4 hektar milik pemprov bisa lepas begitu saja. Padahal secara yuridis mereka memiliki hak pakai lahan No.91 tahun 1989.
"Namun kenyataannya, mengapa bisa BPN menerbitkan sertifikat baru diatas objek lahan itu. Pertanyaannya, apakah ada indikasi permaianan BPN atau secara hukum posisi pemprov memang lemah terhadapa lahan di samping Hotel Clarion itu?"sindir politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini.
Ketika ditanyakan kapan pemanggilannya, ia menyatakan secepatnya. Namun kemungkinan setelah pembahasan LKPJ dituntaskan. "Saya berharap lepasnya lahan pemprov ini merupakan kali terakhir. Jangan sampai terjadi kembali. Olehnya, perlu ada pengawasan ektra terhadap aset-aset pemerintah yang dianggap rawan. Kalau perlu, pemerintah bisa membentuk tim khusus menyelesaikan persoalan aset ini,"pungkasnya.
Sementara itu, Wakil Ketua DPRD Sultra, La Pili menyayangkan terbitnya sertifikat baru diatas lahan pemprov. Sebaiknya, sebelum mengeluarkan sertifikat baru perlu diteliti secara cermat. Sebab sebelumnya sudah ada pengakuan BPN atas lahan tersebut sesuai dengan hak pakai lahan No.91 tahun 1989, tapi kenapa diterbitkan lagi sertfikat di objek lahan yang sama. Tentunya hal ini akan menimbulkan polemik dan perspektif yang berbeda, mana yang sah diantara sertifikat tersebut.
Agar persoalan ini clear kata politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini, maka harus diserahkan jalur hukum. Bila keputusannya, yang berhak adalah pemprov maka harus dikemalikan. Namun seandainya kalah, maka pemerintah harus rela melepaskannya. Sebab semua pihak harus tunduk dengan putusan tersebut apalagi sudah ingkrah.
"Dalam persoalan ini pemerintah terlihat lemah. Sebab dengan mudahnya, aset milik pemerintah bisa lepas. Olehnya, perlu ada langkah proteksi yang mengantisipasi lepasnya aset lainnya. Sehingga ini menjadi pelajaran, agar kedepan tidak perlu terjadi lagi,"tandas politisi yang telah dipastikan kembali mengisi kursi DPRD Sultra.
Sebelumnya, lepasnya aset pemprov ini membuat sejumlah legislator DPRD Sultra angkat suara. Anggota komisi I, H Respin bahkan menuding pemprov tidak punya taring. Seharusnya dengan kewenangan yang dimiliki pemprov lahan tersebut tidak lepas begitu saja. Bukan hanya memiliki kewenangan, namun juga memiliki kekuatan, koneksi dan relasi untuk mengagalkan lepasnya aset pemerintah. Masak, dengan apa yang dimilkinya pemerintah dikalahkan dengan pihak yang memiliki modal.
"Ini menandakan political will pemprov sangat lemah, bahkan dengan pihak yang mempunyai kemampuan finansial saja kalah, bagaimana jika lawannya lembaga atau organisasi,"sindir legislator Partai Bulan Bintang (PBB) ini.
Menurut pengganti Nirna Lachmuddin ini, ada yang salah dengan pengawasan dan pengelolaan aset pemerintah. Sebab dengan mudahnya, ada pihak yang mencaplok tanpa ada upaya maksimal dari pemerintah. Harusnya, pemerintah bisa mendeteksi mana aset yang dianggap bermasalah dan rentan dikuasai pihak lain sehingga sudah siap mengantisipasi. Bukannya kebakaran jenggot dan mengerahkan aparatnya untuk mengamankan aset pemerintah sebab sudah terlambat.
"Mengenai persoalan ini, pemerintah harus instropeksi diri. Bila perlu evaluasi aparatnya yang lalai. Lebih baik, lakukan langkah hukum. Kumpulkan bukti kepemilikan lahannya dan masukan gugatannya ke pengadilan,"saran mantan Kepala Bulog Unaaha ini.
Bukan hanya persoalan perdata kata Respin, pemerintah juga harus mengambil langkah yang lebih tegas. Serahkan ke aparat hukum, mengusut terbitnya sertifikat doubel ini. Jangan sampai terlepas, sebab kemungkinan ada kong kali kong antara oknum tertentu. Sebab mana mungkin ada dua sertifikat yang terbit diatas objek lahan yang sama. Untuk menindaklanjuti persoalan ini, ia berjanji akan membahas persoalan ini secepatnya.(amal)
No comments:
Post a Comment