Uodate berita
19:52
0
KPK Harus Dilemahkan
Oleh: Alungsyah*
Awal
mulanya menguat isu terhadap KPK ditandai dengan sejarah panjang dan
perjuangan KPK dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Sepak terjang
yang dilakukan KPK seolah tidak ada yang mampu menandingi dan
menghentikan laju geraknya, baik itu perorangan maupun secara kelompok.
Dari itu, KPK telah banyak menelan “warga negara” melalui segala
kewenangan yang dimilikinya, mulai dari pejabat swasta dan negeri tak
luput dari cengkramannya. Aksi KPK makin hari kian menakutkan bagi para
pejabat, baik itu eksekutif, legislative dan yudikatif, sehingga pada
saatnya terdengar suara yang meneriakkan lemahkan KPK dan bubarkan KPK.
Teriakkan tersebut bukanlah tanpa alasan dan bahkan mendapat angin segar
dari DPR RI melalui kewenangan yang diberikan oleh UUD NRI 1945. DPR
dengan segala kekuatannya “membunuh” KPK dengan cara yang lebih sadis
yaitu melalui revisi Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK.
walaupun tindakan yang dilakukan oleh DPR menimbulkan pro dan kontra
ditengah publik.
Harus Dilemahkan
Keberadaan
KPK di Republik ini dapat dikatakan sebagai “pengganti” terhadap
lembaga Polri dan kejaksaan yang mana kedua lembaga ini diyakini pada
saat itu tidak mampu mengatasi kasus korupsi yang membelit perekonomian
Indonesia. Dengan kata lain kelahirkan KPK merupakan peristiwa yang
tidak disengaja yang itu berimplikasi pada lembaga penegakan hukum yang
ada. Salah satunya ialah bahwa KPK didesign berbeda dengan
lembaga lainnya. Letak pebedaan tersebut terdapat pada kewenangan yang
dimiliki oleh KPK itu sendiri, misalnya KPK tidak memiliki kewenangan
untuk mengeluarkan SP3, lalu kemudian penyadapan yang tanpa meminta izin
terlebih dahulu kepada ketua Pengadilan dan yang selanjutnya ialah
beberapa pasal yang dianggap berbahaya lainnya. Dengan kewenangan yang
dimiliki oleh KPK itu membuat sebagian orang risih dan tergangu untuk
bertindak dan terlebih berpotensi melangar Hak Asasi Manusia, sehingga
sekali lagi dengan segala kewenangan yang dimiliki DPR suka tidak suka
langkah untuk merevisi merupakan bagian dari solusi pokok.
Penting
untuk diketahui bahwa dalam perspektif hukum tata Negara, sejatinya
tidak satu lembaga pun yang memiliki kewenangan yang lebih superior dari
pada lembaga Negara yang lainnya. Kewenangan yang dimiliki haruslah
proporsional guna terciptanya checks and balances dalam
berdemokrasi. Dengan kata lain bilamana terdapat lembaga yang memiliki
kewenangan lebih, maka sudah sepantasnya untuk dilemahkan. Dalam
pandangan pakar Hukum Tata Negara yang sekaligus founder Constitutional Law Office, Sidin Constitution, Irmanputra
Sidin dalam keterangannya mengatakan bahwa dalam negara konstitusi,
lembaga yang terlalu kuat memang harus dilemahkan. Begitu pun lembaga
yang lemah, perlu diperkuat. Semua harus dititik keseimbangan agar semua
bisa dikontrol (okezone.com, 12/10). Ungkapan ini bukanlah
isapan jempol belaka, karena dalam demokrasi yang sesungguhnya tidak ada
kewenangan yang lebih mendominasi, sehingga nantinya bertindak melebih
rasional hukum yang wajar.
Instrumen Revisi
Setelah
satu persatu nahkodanya tumbang, kini tiba saatnya aturan yang menjadi
sasaran, dengan cara ini KPK akan mudah untuk dilemahkan dan setidaknya
ini sebagai satu-satunya cara yang konstitusional untuk dilakukan.
Wacana revisi Undang-undang KPK tidak hanya terjadi baru-baru ini, namun
telah terjadi pada masa sebelumnya. Republik yang dikendalikan oleh
presiden Jokowi melalui pembantunya menjadikan wacana ini semakin
menguat dipublik dan bahkan dengan senang hati DPR sebagai “tuan rumah”
menyambutnya dengan suka cita. Sambutan yang diberikan oleh DPR yaitu
dengan cara revisi diyakini mampu meredam KPK dengan segala
kewenangannya. Adapun pengusul revisi Undang-Undang KPK ini terdiri dari
45 orang dari 6 fraksi diantaranya ialah 15 orang dari PDIP, 11 orang
dari NasDem, 9 orang dari Golkar, 5 orang dari PPP, 3 orang dari Hanura,
dan 2 orang dari PKB. Sedangkan untuk fraksi-fraksi diluar itu masih
belum menyetujui usulan revisi Undang-undang yang dibentuk pada era
Presiden Megawati Soekarno Putri itu. (Pikiran Rakyat, 16/10).
Selain itu juga ada beberapa ketentuan pasal yang akan dilakukan perubahan dalam Undang-undang KPK di antaranya: pertama, Pasal 5 Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk untuk masa waktu 12 tahun sejak undang-undang ini diundangkan. Kedua, pasal
13 huruf b menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp 50 miliar,
sedangkan untuk huruf c-nya dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi telah
melakukan penyidikan dimana ditemukan kerugian negara dengan nilai
dibawah Rp 50 miliar, maka wajib menyerahkan tersangka dan seluruh
berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan
kepada kepolisian dan kejaksaan dalam waktu paling lama 14 hari kerja,
terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan Komisi Pemberantasan
Korupsi. Ketiga, pada pasal 14 huruf a KPK melakukan penyadapan
dan merekam pembicaraan setelah ditemukan bukti permulaan yang cukup
dengan izin dari Ketua Pengadilan Negeri. Keempat, pasal 22 ayat (1) huuf b yang berbunyi Dewan Eksekutif yang terdiri dari 4 anggota. Sedangkan yang Kelima, pasal
23 ayat (1) berbunyi KPK dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya
dibantu oleh dewan eksekutif sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 ayat
(1) huruf b yang diajukan oleh panitia seleksi pemilihan, pada ayat
2-nya Panitia Seleksi Pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dibentuk oleh KPK, sedangkan untuk ayat (3)-nya berbunyi Panitia Seleksi
Pemilihan mengumumkan penerimaan calon dan melakukan kegiatan
mengumpulkan calon anggota berdasarkan pengalamannya sebagai PNS di
bidang hukum atau pemeriksa keuangan, sedangkan untuk ayat (6) Dewan Eksekutif diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
Ketujuh, perubahan lebih lanjut terjadi ada pasal 24 yang bebunyi Dewan eksekutif berfungsi menjalankan pelaksanaan tugas sehari-hari lembaga KPK dan melaporkannya kepada komisioner KPK. Kedelapan, pasal
27 ayat (2) KPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membawahkan 4 dewan
eksekutif terdiri atas: bidang pencegahan, bidang penindakan, bidang
informasi dan data, bidang pengawasan internal dan pengaduan masyarakat. Kesembian, dalam
pasal 39 ayat (1) dalam melaksanakan tugas dan penggunaan kewenangan
KPK, maka dibentuk dewan kehormatan, sedangkan pada ayat (2) Dewan
kehormatan diberi wewenang untuk memeriksa dan memutuskan dugaan
terjadinya pelanggaran penggunaan wewenang yang tidak memenuhi standar
penggunaan wewenang yang telah ditetapkan dan menjatuhkan sanksi
administrasi dalam bentuk teguran lisan dan tertulis, pemberhentian
sementara dan pemberhentian dari pegawai KPK dan pelaporan tindak pidana
yang dilakukan oleh komisioner KPK dan pegawai KPK dan pada ayat
(3)-nya bahwa dewan kehormatan bersifat ad hoc terdiri dari 9 anggota yaitu 3 unsur dari pemerintah, 3 unsur aparat penegak hukum, dan 3 dari unsur masyarakat. Kesepuluh, pada pasal 42 KPK berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3)
dalam perkara tindak pidana korupsi setelah diketahui tindak pidana
korupsi yang sedang ditanganinya tersebut tidak memenuhi syarat untuk
dilanjutkan ke tahap penuntutan sebagaimana diatur pada 109 ayat (2)
KUHP. Sedangkan yang kesebelas ialah pasal 52 ayat (2) juga tak luput yang mana. Dalam hal suatu tindak pidana korupsi terjadi dan kepolisian atau
kejaksaan belum melakukan penyidikan, sedangkan perkara tersebut telah
dilakukan penyidikan oleh KPK maka KPK tersebut wajib memberitahukan
kepada kepolisian atau kejaksaan paling lambat 14 hari kerja terhitung
sejak tanggal dimulainya penyidikan dan yang terakhir pasal 53 ayat (1)
yaitu Penuntut adalah jaksa yang berada dibawah lembaga Kejaksaan
Agung RI yang diberi wewenang oleh KUHAP untuk melakukan penuntutan dan
melaksanakan penetapan hakim.
Penulis merupakan praktisi pada kantor hukum Sidin Constitution